Mengupas Makna Panggilan Persaudaraan di Ika Darma Ayu

Oleh : Iin R Hadlor
            Mencermati perkembangan dinamika keorganisasian di tubuh Ika Darma Ayu Komisariat UIN SGD Bandung ahir-ahir ini, terus saya merasa risih dengan berkembangnya panggilan khas persaudaraan di organisasi kedaerahan ini, betapa tidak, sejak tahun 1994 saya masuk ke Ika Darma Ayu saya tidak pernah mendengar istilah panggilan terhadap anggota (baik senior maupun junior) dengan sebutan NANG atau NOK, yang ada adalah KANG atau YAYU. Namun anehnya ahir-ahir ini justru ketika orang yang merasa dirinya senior atau lebih tua memanggil saudaranya di Ika Darma Ayu yang lebih Junior atau lebih muda dengan sebutan Nang untuk laki-laki dan Nok untuk perempuan.
            Apakah hal disebabkan karena adanya pergeseran nilai, ataukah karena ketidak mengertian teman-teman Ika Darma Ayu dalam memaknai panggilan persaudaraan tersebut. Maka melalui tulisan sederhana ini saya hanya ingin berbagi tentang apa dan bagaimana sebenarnya makna panggilan tersebut.
            Mengawali kupasan sederhana ini, saya ingin sedikit berbagi cerita ketika saya keluar MI dan meneruskan belajar Ngeliwet di Pesantren Arjawinangun Cirebon selama tiga tahun dan lanjut ke Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon selama tiga tahun, ada tradisi yang berkembang di pesantren yakni panggilan khas kepada setiap santri dengan sebutan Kang. Panggilan itu bukan hanya hanya berlaku kepada santri junior yang harus memanggil kang kepada santri senior atau ustadz, tetapi justru panggilan Kang juga berlaku bagi ustad dan santri senior kepada santri junior dan bahkan sang kiyai yang sangat disegani dan dihormati di pesantren, ketika memanggil santrinya dengan panggilan Kang.
            Sungguh luar biasa, kok bisa ya, seorang ustadz dan kiyai saat memanggil santri yang umurnya masih muda dengan panggilan Kang dan kenapa tidak memanggil dengan panggilan nang atau cung (panggilan orang Cirebon kepada anak kecil). Awalnya saya juga merasa aneh dan sempat protes serta bertanya kepada sang kiyai, kenapa kok saya dipanggil kang dan tidak dipanggil nang atau cung. Dengan penuh bijaksana dan sambil tersenyum sang kiyai menjelaskan, panggilan nang atau cung hanya untuk orang yang sombong dan menganggap dirinya lebih baik dan lebih dari segalanya dari orang lain.
            Orang yang dipanggil Nang pasti akan merasa dia lebih kecil dan lebih rendah dari orang yang memanggilnya. Sebaliknya orang yang memanggilnya pasti dia merasa lebih besar dan  lebih tua, mendingan kalau cuma merasa sebatas itu, karena biasanya dari situ akan muncul dalam dirinya dia lebih senior, lebih hebat, lebih pintar dan lebih, lebih lainnya dibanding orang yang dipanggilnya.
            Panggilan nang atau cung hanya pantas untuk orang tua pada anaknya, kakak pada adiknya dan orang yang lebih tinggi dalam silsilah nasabnya, karena disitu sudah terjalin dan terjamin ikatan darah, ikatan batin dan ikatan kasih sayang melalui rahim ibunya. Sedangkan jika orang lain menggunakan panggilan Nang maka belum bisa dijamin apakah benar-benar dia menghormati dan menyayangi, karena disitu ditakutkan ada tendensi lain semisal perasaan merendahkan, mengecilkan atau bahkan menganggap lebih buruk. “makanya tradisi pesantren mengajarkan memanggil kang bukan nang semata-mata untuk menjaga hal-hal tersebut, intinya kita lebih aman menggunakan panggilan kang kepada orang lain, karena kita lebih mengutamakan perasaan orang lain disbanding diri kita sendiri,” jelas sang kiyai dengan panjang lebar.  
Kebih lanjut kiyai menegaskan, ajaran Islam itu sangat luar biasa diantaranya adalah ajaran tentang egaliter, yakni ajaran kesejajaran dan kesamaan kedudukan seorang manusia di hadapan Allah. Islam tidak mengenal umur dalam memandang posisi manusia dan justru Islam mengajarkan agar kita saling menghormati dan mengasihi sesama manusia tanpa memandang status dan umurnya.
            Dengan panggilan kang, menurut sang kiyai, maka orang yang dipanggil akan merasa dihormati, dihargai dan disayangi oleh orang yang  memanggilnya, meskipun yang memanggil itu adalah  yang lebih tua, ustadz atau bahkan kiyai. Sehingga dari situ akan muncul rasa dan kesadaran dalam dirinya bahwa seorang kiyai saja bisa menghormati dan menghargai dirinya maka diapun secara otomatis pasti akan menghormati dan mencintai kiyainya tanpa pernah sang kiyai itu meminta penghormatan dari santri. Maka tidak heran bila kiyai pesantren pasti akan sangat dihormati, dihargai dan disayangi oleh santri sepanjang hayat sang santri tersebut, bahkan ketika sudah keluar dari pesantren itu, pasti sepanjang hidupnya sang santri akan terus mengagungkan kiyainya, sowan secara berkala kepada kiyainya dan bahkan sampai sang kiyai meninggal duniapun akan terus diziarahi makamnya. Dari situ sebenarnya tanpa sadar sang santri telah dididik dan dilatih oleh sang kiyainya untuk bersikap dan bertingkah laku dalam menjalani kehidupan sehari-hari, untuk saling menghormati dan menyayangi sesama manusia serta menjunjung tinggi norma dan etika dalam kehidupan sehari-hari.
Panggilan kang juga menurut sang kiyai, bermakna bahwa orang yang dipanggil itu memiliki kelebihan dibanding dengan yang memanggil. Terus saya tanya. “kok bisa, masa saya memiliki kelebihan dibanding kiyai,”  beliau jawab sambil tersenyum, paling tidak kelebihan itu adalah kamu lebih sedikit dosanya dibanding saya, karena umurmu baru 15 tahun jadi dosamu masih sangat sedkit dibanding saya yang sudah 60 tahun. Saya tidak puas mendengar jawaban itu, maka beliaupun melanjutkan, Islam mengajarkan agar umatnya tidak merasa paling suci, paling bersih, paling hebat, paling pintar, paling kaya, paling berkuasa, paling terhormat dan paling-paling lainnya dibandingkan dengan orang lain. Jadi kata kiyai. “kalau mau dirimu ingin jadi orang  besar dan hebat, jangan pernah merasa paling besar dan paling hebat dari orang lain, tapi merasalah paling kecil dan paling hina dibanding orang itu, dari situ dirimu akan bisa menghargai orang lain, belajar dari orang lain dan mengambil banyak manfaat dengan orang tersebut,” tegas sang kiyai. Subhanallah…………tanpa teras air mata ini meleleh di pipiku. Seorang kiyai yang agung dan dihormati oleh jutaan umat, ternyata memang memiliki sifat yang sangat agung, pribadi yang luhur dan memiliki sifat tawad’u yang sangat tinggi, jangankan dengan orang lebih hebat dari kiyai itu, dengan diriku yang hina inipun beliau menganggap ada kelebihan dibanding dengan dirinya.  Sejak detik itu aku bertekad dalam diriku untuk terus belajar memperbaiki diri agar mampu bersikap agung dan pribadi luhur seperti itu.
Melihatku meneteskan air mata, beliau mengelus  punggungku dengan penuh kasih sayang. Sambil beliau berucap, “Anakkku, jangan pernah kau anggap orang hina lebih hina dari dirimu, karena bisa jadi dia lebih mulya dari dirimu, mulyakanlah orang lain niscaya kau akan mendapatkan kemulyaan dalam hidupmu,” ucapnya sambil berlalu meninggalkanku yang terus terpekur seorang diri.
Dari cerita tersebut di atas, tentu teman-teman sudah bisa mengambil kesimpulan sendiri, bahwa memang di Ika Darma Ayu dikembangkan panggilan Kang, tentu semata-mata karena memang Ika Darma Ayu ingin memberikan pelajaran kepada anggotanya untuk saling menghormati, mengasihi dan menyayangi. Selain itu juga kita ingin agar kader-kader Ika Darma Ayu menghindarkan diri dari sikap sombong, merasa lebih hebat, lebih senior dan lebih segalanya dari orang lain.
Melalui tulisan ini saya sangat berharap agar teman-teman semua di Ika Darma Ayu menghentikan panggilan Nang atau Nok pada adik-adik kita yang lebih muda, biasakanlah menggunakan panggilan Kang atau Yayu. Kalau hal itu tidak bisa alangkah lebih baik jika memanggil dengan namanya saja karena tentu tidak ada panggilan terindah bagi orang lain selain dipanggil namanya. Daripada kita menyakiti dan merendahkan orang lain dengan panggilan Nang atau Nok toh akan lebih aman dan terkesan lebih akrab bila memanggil dengan sebutan namanya.
Dengan kita memanggil kang atau yayu pada anggota Ika Darma Ayu, dalam pergaulan sehari-hari atau paling tidak dalam acara-acara formal maupun non formal  Ika Darma Ayu, maka kita ingin mengajarkan pelajaran hidup yang sangat berharga kepada sesama anggota Ika Darma Ayu, seperti yang telah diuraikan di atas, bukan menebar kesombongan dan kecongkakan serta menempatkan orang lain dalam petak-petak dan garis pemisah antara senior dan junior, antara pengurus dan anggota, antara alumni dan pengurus dan antar siapapun yang merasa dirinya masih mengalirkan nama  Ika Darma Ayu dalam aliran darahnya.  SEMOGA………………..!!!
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Indramayu, 10 Januari 2014
Kudedikasikan untuk Ika Darma Ayu  


0 komentar:

Posting Komentar